10 Februari 2008
Kasus Aliran Dana BI
Mengkaji Motif Dan Proses Aliran Dana
Derasnya aliran dana BI, mengalir tidak hanya berujung pada proses hukum melainkan juga politik. Namun itu semua
bergantung pada hukum sebagai panglimanya. Sejauh ini motif dan proses aliran dana masih abu-abu. Alih-alih
meluruskan proses hukum, kini kasusnya lebih berat ke kasus politik.
Laiknya pusaran air sungai yang terjal, aliran dana Bank Indonesia (BI) mengalir begitu deras. Jika pula dianalogikan
dengan aliran sungai yang mengalir tunggal, aliran dana BI kali ini tidak bersifat demikian. Sebab, ia mengalir tidak
hanya melewati satu ruas, melainkan beberapa ruas (baca: pihak).
Derasnya aliran itu pun, dikarenakan pada bobot dari aliran tersebut yang jumlahnya mencapai Rp. 100 milyar.
Sungguh angka yang fantastis.Nampaknya, tidak hanya besaran angkanya saja yang membuat itu begitu fantastis,
melainkan arah aliran itu pula yang ikut mendongkrak.
Lihat saja, aliran dana BI itu terserap tidak hanya ke ruang DPR di Komisi Keuangan dan Perbankan periode 1999-
2004, tapi juga ditengarai diserap oleh kejaksaan, para pengacara dan ada juga wakil gubernur di sebuah daerah di
Sumatera.
Yang terakhir sebelumnya pernah duduk di DPR (1999-2004) di Komisi Keuangan dan Perbankan. Itulah mengapa,
kemudian dalam pemeriksaannya KPK memosisikan kasus ini dalam tiga bagian. Pertama, penyalahgunaan dana oleh
Direksi BI, kedua penerimaan oleh para anggota legislatif, dan ketiga kemungkinan penerimaan dana oleh penegak
hukum. Nah, mengacu pada pembagian pertama, ternyata sekitar 68,5 juta diperuntukkan bagi para mantan pejabat BI
yang ketika itu tengah dililit masalah hukum seputar Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Sebenarnya, penyiapan dana tersebut tidak lah bermasalah sedikitpun. Toh, itu juga merupakan perhargaan atas
dedikasinya selama ini. Semacam reward-lah. Dapat dibenarkan pula, penyiapan dana tersebut karena ingin menjaga
citra selaku Bank Sentral sebuah negara, baik itu dimata publik nasional maupun Internasional. Terlebih, setelah dunia
perbankan sempat terpukul begitu hebatnya pada 1997 tatkala krisis ekonomi (moneter) melanda.Namun, belakangan
dana tersebut menguak menjadi sebuah polemik di mata hukum. Adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang
menghangatkan itu.
Bermula dari laporan keuangan (LK) BI pada 2004. Dimana pada laporan tersebut, BPK menenggarai adanya
pengeluaran yang tidak wajar berlangsung di bank sentral tersebut. Ternyata, BPK tidak memberikan tanggapan seperti
laiknya lembaga ini memeriksa semua departemen dan lembaga keuangan negara. Melihat kondisi tersebut, Anwar
Nasution, langsung menyambangi bekas kantornya dulu untuk mengatakan kepada bekas rekan-rekannya agar
sesegera mungkin memperbaiki LK BI tersebut.
Alasannya, agar dapat diselesaikan secara kekeluargaan.Sedikit sapaan dari mantan deputi senior BI itu, ternyata
kurang mendapat perhatian dari para dewan gubernur. Atas dasar itu kemudian, Anwar melayangkan surat kepada
pimpinan KPK guna melakukan pemeriksaan lebih lanjut atas temuan BPK tersebut. Hingga saat ini sudah ada
beberapa pihak yang dimintakan keterangan, beberapa diantaranya Kepala BPK sendiri, Anwar Nasution, Miranda S.
Goeltom dan Bun Bunan E. J. Hutapea.Lantas, waktu pun dirunut dengan mengacu pada Rapat Dewan Gubernur yang
merupakan forum tertinggi dalam menghasilkan serangkan kebijakan strategis BI.
Pada 17 Maret 2003, untuk kali pertama, datang sepucuk surat berupa permohonan dana operasional dan konsultasi
hukum terhadap tiga mantan anggota direksi BI yang tersangkut kasus penyaluran dana BLBI. Ketiga mantan direksi itu
adalah Hendro Budiyanto, Heru Soepraptomo, dan Paul Sutopo. Dalam suratnya itu, ketiganya meminta bantuan
penggantian dana mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan, kepolisian dan
pengadilan, yang telah dijalaninya semenjak 1997.
Adapun besaran jumlahnya kisaran Rp 5 milyar untuk masing-masing, sehingga totalnya berjumlah Rp 15 milyar.Dalam
Majalah Konstan Online
http://www.majalahkonstan.com _PDF_POWERED _PDF_GENERATED 10 February, 2008, 14:35
Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang dilangsungkan pada 20 Maret 2003 yang dipimpin langsung Gubernur BI, Syahril
Sabirin itu, menyepakati permintaan ketiga mantan direksi tersebut. Dasar pertimbangannya adalah ketiganya dalam
pelaksanaannya, penyaluran dan BLBI, dala rangka menjalankan tugas kedinasan BI, yaitu mengatasi krisis moneter
dan menyelematkan sistem perbankan yang luluh lantah pada 1997.
Selain itu, dalam RDG tersebut juga memutuskan bahwa ketiganya tidak perlu mempertanggungjawabkannya ke BI cq
Direktorat Hukum, dengan alasan bantuan dana yang dikeluarkan merupakan kompensasi atas pengeluaran yang telah
dilakukan ketiganya. Waktu pun berganti seiring dengan pergantian gubernur BI. Burhanuddin Abdullah menduduki
posisi di bank sentral tersebut pada Mei 2003. Tatkala menjabat sebagai Gubernur BI, Burhanuddin melakukan RDG
untuk kali pertama dalam konteks yang sama pada 3 Juni 2003.
Dalam rapat tersebut membahas serangkaian penanggulangan kebutuhan dana yang sifatnya insidental dan mendesak
di BI, dengan menggunakan dana yang diperoleh dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), yang
belakangan menjadi YPPI (Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia).Pada perkembanganya, terlihat bahwa dua
Deputi Gubernur BI, Aulia Pohan dan Bun Bunan Hutapea, diminta mengatur teknis pelaksanannya dengan pengurus
LPPI. Mengacu pada RDG 3 Juni itu, dilakukan catatan yang dikeluarkan Biro Gubernur Rusli Simandjuntak, 27 Juni
2003.
Ditegaskan pula bahwa dalam RDG tersebut, menyetujui penggunaan dana tahap pertama sebesar Rp 50 Milyar.
Adapun mengenai penyediaan dananya ditunjuklah Rusli Simandjuntak dan Oey Hoey Tiong.Pada 20 Juli 2003, RDG
kembali digelar yang dipimpin langsung Burhanuddin Abdullah. Dalam rapat tersebut, ditetapkan perluasan pengeluaran
dana yang sebelumnya Rp 15 Milyar menjadi Rp 100 Milyar.
Dengan dana yang besar tersebut, pemberian bantuan pun meluas dengan tidak hanya tiga mantan direksi BI,
melainkan pejabat lainnya seperti Sudrajat Djiwandono dan Deputi Gubernur BI Iwan Prawiranata.Terungkap pula, dua
Deputi Gubernur BI, Aulia Pohan dan Bun Bunan Hutapea, diminta membicarakan pelaksanaannya dengan pengurus
LPPI. Berdasarkan RDG 3 Juni itu, dibuat catatan yang dikeluarkan Biro Gubernur Rusli Simandjuntak, 27 Juni 2003.
Disebutkan, RDG juga menyetujui penggunaan dana tahap pertama Rp 50 miliar serta menunjuk Rusli Simandjuntak
dan Oey Hoey Tiong dalam penyediaan dana tersebut. Pada 22 Juli 2003, RDG yang dipimpin langsung Burhanuddin
memperkuat keputusan RDG sebelumnya yakni 3 Juni 2003.
Rapat yang dihadiri Anwar Nasution, Deputi Senior BI, belakangan ternyata ada dua versi. Pada versi pertama, yang
menjadi lampiran surat Anwar ke KPK, Deputi Gubernur Aslim Tadjudin tidak ikut menandatangani dalam RDG tersebut.
Adapaun mengenai isinya sebatas mempertegas penyisihan dana YPPI. Sedangkan versi yang kedua, Aslim Tadjudin
secara nyata ikut menandatangani hasil RDG tersebut. Tidak hanya sampai disitu, Anwar Nasution juga terlihat
membubuhkan tanda tangan.
Itu artinya, ia juga ikut memutuskan cairnya dana YPPI tersebut. Selain itu, RDG juga memutuskan untuk
merealisasikan pemenuhan penyisihan dana tersebut yaitu tersebut sebesar Rp 71.500.000.000 (Rp 100 milyar
dikurangi jumlah yang telah disetujui oleh Dewan LPPI untuk ditarik sebesar Rp. 28.500.000.000). atas dasar itu
kemudian dibentuk Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PSK), yang fungsinya melakukan penarikan,
penggunaan dan penatausahaan dana dimaksud.Dengan adanya pembentukan panitia tersebut, ditentukanlah
koordinator dimana yang menjabat adalah Aulia Pohan dan Maman S. Suamntri. Sedangkan ketua dan wakil ketua Rusli
Simanjutak dan Oey Hoey Tiong. Mereka semua berposisi sebagai ex-officio. Sementara untuk administratornya, para
mereka yang minimal penjabat GV yang ditunjuk dan ditetapkan panitia PSK.
Kecenderungan Politik
Derasnya upaya hukum yang dijalankan, ternyata juga menyisipkan akan derasnya kecenderungan politik yang
menyelimuti pelaporan tersebut kepada KPK. Seperti yang diketahui bahwa Anwar juga berperan serta dalam
mengucurkan dana tersebut. Sehingga, menjadi aneh jika kemudian ketika dia tidak lagi menjabat sebagai Deputi Senior
Gubernur BI dengan sekarang menjabat Ketua BPK mempersoalkan keputusan aliran dana tersebut.
Kalaupun dia menyatakan ketidaksetujuannya pada kebijakan tersebut, yang olehnya tidak harus diambil dari dana
yayasan melainkan dana yang dimiliki BI cukup banyak alias tidak terbatas, seharusnya diperlihatkan sedari awal
kebijakan itu keluar atawa paling tidak ketika proses itu tengah di godok di RDG. Di lain pihak, pelaporan yang dilakukan
Majalah Konstan Online
http://www.majalahkonstan.com _PDF_POWERED _PDF_GENERATED 10 February, 2008, 14:35
Anwar KPK belakangan dinilai kadaluwarsa. Sebab, sedianya sebelum pelaoran itu dipublikasi ke publik, sudah menjadi
agenda utama bahwa pelaporan itu disuguhkan kepada anggota dewan.
Alih-alih, kesalahan prosedural pun dialamatkan kepada BPK. Terkait hal tersebut, pihak BPK mempunyai jawaban
sendiri, dimana pada laporan yang mengacu pada LK BI 2004 tersebut, terdapat unsur spesifik. Dengan pengertian
bahwa terdapatnya tindak penyelewengan. Karena, ini berkenaan dengan satu dugaan adanya tindak penyelewengan,
sehingga itu tidak publikasikan ke DPR melainkan ke penegak hukum.
Dan itu, tambahnya, diatur dengan jelas dalam UU BPK. Kalaupun itu dipublikasikan ke DPR dan kemudian ternyata
tidak terbukti adanya tindak pidana, BPK bisa dituntut oleh BI. Belakangan juga mencuat sebuah isu dimana pelaporan
Anwar tersebut, terkait pada bursa pencalonan Gubernur BI yang akan berlangsung pada 2008. Untuk yang satu ini
secara tegas Anwar menolaknya. Katakanlah, kita mengiyakan ucapan Anwar itu. Namun, jika memilisik lebih jauh akan
jelujur atau sejarah dari lahirnya seorang Gubernur BI selain melalui proses politik di DPR, juga menuntut akan lamanya
seseorang dalam kiprahnya di bank sentral. Sehingga, jika mengacu pada alur tersebut yang lebih senior diantara deputi
gubernur senior yang ada di BI sekarang ini adalah Anwar.
Kalaupun alur itu ditempatkan pada Miranda bisa mungkin, bisa tidak. Apalagi, melihat sepak terjang Anwar di BPK
yang kelihatan berkilau dengan kinerja dan dedikasinya. Tapi, kembali lagi, itu semua berpulang pada proses politik di
DPR. Sementara itu, pada kesempatan lain, jika memang Anwar ingin benar-benar mengakan hukum kepada mantan
rekan-rekannya itu, tidak menutup kemungkinan akan melibatkan semua deputi gubernur termasuk senior di BI.
Karena, dalam setiap kebijakannya BI kerap mengandung keputusan kolektif ketimbang individu. Sekarang tinggal kita
menyaksikan ke arah mana aliran dana tersebut menggodam para pembuat keputusan yang sifatnya kolektif beserta
dengan pengaitannya ataukah memang terpusat pada satu titik: personal. Tim Konstan
Majalah Konstan Online
http://www.majalahkonstan.com _PDF_POWERED _PDF_GENERATED 10 February, 2008, 14:35
31 Januari 2008
Opini
Pengembara Kesepian Itu Pergi Selamanya
Oleh Asro Kamal Rokan
Jakarta (ANTARA News) - Jenderal Besar itu telah tiada, Ahad (27/01). Pak Harto -- putra petani dan anak desa – itu wafat di tengah kontroversi status hukumnya yang tak pasti. Sejarah Indonesia menempatkan Soeharto dalam dua sisi: dipuji dan dicerca.
Pada satu sisi, Pak Harto dinilai sebagai tokoh yang sangat berjasa membangun Indonesia, mengangkat Indonesia dari keterpurukan sangat parah pasca kepemimpinan Soekarno. Pak Harto tidak saja mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa, tapi juga menyebarkan pengaruhnya yang kuat di negara-negara Asia Tenggara. Beliau tokoh utama di kawasan ini, yang tidak tergantikan hingga saat ini.
Pak Harto -- yang berkuasa selama 32 tahun, sejak Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 dan jatuh secara tragis dalam gelombang reformasi 1998 – dikenal pula dekat dengan petani. Sebagai anak petani, Pak Harto fasih bahasa dan keinginan petani. Berkat usaha keras dan program yang terarah, pada 1984 Indonesia berhasil swasembada beras dengan produksi 25,8 juta ton dari 12,2 juta ton pada awal kekuasaannya. Food and Agriculture Organization (FAO – badan PBB) memberikan penghargaan medali emas untuk Pak Harto pada November 1995.
Dua tahun setelah reformasi, ketika kekuatan pembaharu mulai kesulitan untuk menjaga dan membangun stabilitas keamanan, politik, dan ekonomi, nama Pak Harto kembali dikenang. Kalangan masyarakat umum mulai membanding-bandingkan keberhasilan Pak Harto dengan pemerintahan reformasi. Ketika harga-harga kebutuhan pokok meningkat, rasa aman berkurang, politisi lebih suka bertengkar, maka kerinduan masyarakat umum terhadap masa lalu, masa Orde Baru, semakin kuat. Masa Orde Baru itu dinilai sebagai masa normal.
Sisi-sisi baik ini, di antara banyak sisi positif lain, masyarakat umum mengenang Pak Harto sebagai pahlawan. Ini pulalah, dapat diduga, mendorong masyarakat menghormatinya, menangis saat peti jenazah diusung. Di sepanjang jalan yang dilewati jenazah di Jakarta, orang-orang berduyun dan menundukkan kepala.
Jakarta seperti berhenti berdenyut. Di berbagai masjid, jemaah melakukan shalat gaib. Di Solo, dari Bandara Adi Sumarmo hingga Astana Giribangun – tempat pemakamannya -- rakyat berduyun-duyun mengiringinya ke tempat terakhir. Bagi mereka, Pak Harto adalah kebanggaan.
Tapi tidak bagi sebagian politisi, aktivis hak asasi manusia, dan aktivis antikorupsi. Pak Harto dinilai sebagai penyebab kerusakan bangsa ini. Kalangan politisi menilai Orde Baru merupakan rezim otoritarian dan antidemokrasi. Selama berkuasa, Pak Harto dianggap menggunakan kekuatan militer dan konstitusi untuk kepentingan kekuasaannya.
Ia membungkam pers, kebebasan berserikat, dan kebebasan berpendapat. Pada sekitar 20 tahun masa kekuasaannya, Pak Harto juga dinilai menindas dan mengkhianati kelompok politik Islam, yang sejak awal mendukungya ketika menumpas komunis. Tokoh-tokoh Islam diawasi, dilarang berpolitik, dan bahkan dipenjara tanpa pengadilan. Bahkan, ada kesan kekuatan Islam dianggap sebagai ancaman terhadap pembangunan.
Namun, pada sepuluh tahun terakhir Pak Harto seakan memberi ruang bagi kekuatan Islam masuk dalam kekuasaan. Pak Harto mendirikan Amal Bakti Muslim Pancasila, yang mendirikan masjid-masjid. Ia juga merestui pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI) yang dipimpin BJ Habibie, tokoh yang sangat dekat dengannya.
Bank Islam yang sebelumnya dilarang, diperbolehkan didirikan. Berdirilah Bank Muamalat yang diprakarsai ICMI. Aktivis Islam, terutama HMI dan ICMI, diberi pula peluang untuk berperan di Golkar, yang menjadi kendaraan Pak Harto. Kesan demikian juga terlihat di ABRI. Jenderal-jenderal santri mulai menapaki posisi-posisi stretegis.
Kedekatan Pak Harto dengan kelompok Islam ini – yang kemudian disebut "Ijo Royo-royo" -- telah pula dicurigai berbagai kalangan merupakan strategi Pak Harto mencari sandaran baru untuk mempertahankan kekuasaannya, setelah pengaruhnya di ABRI mulai meredup. Ini memang dapat diperdebatkan. Sebab, bisa pula ini bukan strategi politik kekuasaan, melainkan kasadaran atas kekeliruan sebelumnya di negara yang mayoritas Islam. Di kalangan politisi dan aktivis Islam, bahkan muncul kesimpulan bahwa jatuhnya Pak Harto antara lain karena kedekatannya dengan kelompok Islam. Ini pun dapat pula diperdebatkan.
Di kalangan penggiat hak asasi manusia, Pak Harto dianggap bertanggung jawab atas berbagai tragedi kemanusiaan, di antaranya kasus 1965, Tanjungpriok, Talangsari, Komando Jihad, Aceh, pembungkaman terhadap pers, kerusuhan Mei, dan beberapa lainnya. Rezim Orde Baru dinilai lebih suka melakukan politik kekerasan.
Sisi lain, Orde Baru dianggap sebagai rezim korup. Kolusi, korupsi, dan nepotisme berkembang pesat. Utang-utang pemerintah yang semestinya diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, dikorupsi kroni-kroni Pak Harto. Ekonom terkemuka Prof Sumitro Djojohadikesumo bahkan menyebutkan 30 persen dana APBN menguap setiap tahun. Selain KKN, kebijakan ekonomi Orde Baru juga dianggap tidak prorakyat. Kebijakan ‘’efek menetes ke bawah’’ untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, justru membesarkan konglomerat para kroninya daripada pemerataan.
Pengembara
Pak Harto wafat setelah dirawat 24 hari di RS Pusat Pertamina. Pak Harto pergi untuk selamanya meninggalkan orang-orang yang dicintainya, bangsa yang dicintainya, dan berbagai kasus yang belum selesai.
Selama berkuasa, Pak Harto yang wafat dalam usia 86 tahun, telah berupaya keras membangun bangsa ini. Sebagai manusia, seperti juga para pengeritiknya, Pak Harto tentu tidak sempurna: Ada sisi baik dan ada pula sisi sebaliknya. Orang-orang bijak akan menjadikan kedua sisi itu – baik dan buruk – sebagai pelajaran berharga untuk berbuat lebih baik. Orang-orang bijak lebih suka membuka luas hatinya untuk memaafkan dan melihat sisi-sisi kebaikan.
Pak Harto telah pergi selamanya. Dalam buku Suharto, a Political Biography, Prof. Robert Edward Elson menulis, masa kecil Pak Harto menderita. Dalam usia sepuluh tahun, enam kali Pak Harto berpindah-pindah rumah dan berpindah-pindah pengasuh. Ia menumpang dari satu rumah ke rumah lainnya. ‘’Dalam kesepiannya mengembara dari rumah ke rumah, dia merasa seperti tidak pernah diterima dengan sungguh-sungguh,’’ tulis Edward Elson.
Setelah turun dari kekuasaan, Pak Harto juga seperti pengembara. Ketika wafat, status hukumnya tidak jelas, terombang-ambing. Pengadilan tidak memutuskan apa-apa. Tidak dinyatakan benar, tidak juga dinyatakan bersalah dan dimaafkan. Pak Harto juga seperti tidak diterima secara sungguh-sungguh – dipuji para pendukungnya, namun dicerca para pengeritiknya.
Senin (28/01) ketika jasad Pak Harto dikebumikan di Astana Giri, air mata berderai jatuh dari keluarga, pelayat, dan orang-orang yang mencintainya. Sebagai pengembara, Pak Harto telah pulang ke tempat yang pasti, tidak lagi mengembara: Inna Lillahi wainna Illaihi Roji’un.
28 Januari 2008
Suharto: Twilight of the God
By JASON TEDJASUKMANA/JAKARTA
he modern-day visitor to the thousand-year-old temple complex of Prambanan in central Java may be surprised by sculptures with a familiar face or, rather, a familiar smile. And suddenly comes the revelation: the slightly bemused yet severely serene expression on every face of the antique gods of Java, the heart of what has become Indonesia, was perfected by a 20th century general who would rule the country for more than 30 years, as if he himself were a god with the right to parcel out prosperity and peace, a heaven-sent arbiter of life and death. Even after he was forced to relinquish power, Suharto dwelt among his countrymen as if invulnerable to mortal retribution, as if Indonesia could not act against the man who was once its infallible, singular autocrat. When he died on Sunday, January 27 in Jakarta, at the age of 86, the islands of Indonesia shuddered.
The years since a popular uprising forced him to resign the presidency have not brought Indonesia quiet. The predominantly Muslim country's Islamic extremists, long repressed by Suharto's military, came roaring to life, some finding common cause with al-Qaeda, fomenting attacks not once but twice on Indonesia's paradaisical enclave of Bali — the last refuge of the islands' old Hindu gods.
Stability had been Suharto's gift to his country. He had come to power at the head of a junta of generals in 1965, overthrowing the country's flamboyant and charismatic first president, Sukarno, whose friendship with Beijing and predeliction for Communists in the government had brought the country to the brink of economic collapse and civil war. Ensconced in power, Suharto proceeded to purge the country of Communism and anyone suspected of Communist sympathy. No one knows how many died. One estimate has it at 500,000 — among them many Indonesians of Chinese descent. The Communist Party was outlawed and Indonesian citizens banned from having Chinese names.
The result was a cowed and pacified country ruled by a new President —Suharto — with a practiced beatific smile, anti-Communist credentials which a Cold War–obsessed America would reward, a secular philosophy that tamped down religious extremism, and a military that no one could question. He brought an end to the hyperinflation of Sukarno's reign and eradicated the country's widespread hunger by establishing Indonesian self-sufficiency in rice. Stability attracted billions of dollars in foreign investment. "Suharto built Indonesia and we have him to thank for modern buildings, ports and harbors," says Kuntoro Mangkusubroto, a former mines and energy minister under Suharto. "He has made mistakes, and there were consequences for many, but he used that centralistic form of government to build things as fast as possible."
But the new Indonesia also made it possible for a small group of Suharto family members and cronies to earn billions of dollars from monopolies on everything from cars to cloves. Foundations set set up during the New Order regime, as his reign was known, are alleged by anti-corruption watchdogs to have amassed billions of dollars. The Suharto family's wealth was estimated by TIME in 1999 at $15 billion. Transparency International, a group monitoring government corruption around the world, reported his personal wealth at closer to $35 billion.
Meanwhile, the regime brooked no opposition. Behind the President's smile were very sharp teeth. Student activists would vanish, dissident writers and journalists jailed. Thousands were killed in Aceh, where a separatist rebellion simmered for 29 years; and more than 200,000 are believed to have perished in East Timor after Indonesia invaded the tiny Portuguese enclave in 1975. (East Timor has since established its independence from Indonesia.)
But economic cataclysm struck in 1997 and, in spite of all of Suharto's soldiers and all of his money, Indonesia was inundated by the Asian financial crisis. Currency speculation had led to the collapse of Thailand's currency, which started a chain of events that swamped Indonesia's rupiah. The devaluation sent company profits dramatically downward; Jakarta's stock market crashed. Food prices spiked upwards, leading to rioting in the streets and the death of perhaps hundreds of people clamoring for food in the capital. The country's divisions re-emerged: Muslims vs. non-Muslims; Malay-Indonesians vs. Chinese-Indonesians; secular Muslims vs. orthodox Muslims. The ghosts of the old Indonesia that Suharto thought he had exorcised had returned to haunt the country.
Instability now led the repressed opposition to gain an audience not just with the besieged middle class but among the military and Suharto's own ruling Golkar party as well. He exacerbated the crisis by hubristically reminding the country of his mandate, running for reelection in March 1998 — unopposed, as was his practice. The country would have none of it. Once street demonstrations and riots started, Suharto could not stay in power without causing bloody chaos. He resigned in May 1998.
After the overthrow, Suharto spent most of his time living at home with his family in an upscale neighborhood in central Jakarta even as allegations of ill-gotten wealth percolated through the press. Citing declining health and diminished mental capacity, Suharto managed to stay out of court despite a 1998 legislative decree ordering an investigation in all corruption, collusion and nepotism charges involving Suharto. He was constantly in and out of hospitals after suffering strokes and undergoing kidney dialysis.
When it became clear that he would not survive the latest hospitalization, the new rulers of the archipelago came to pay homage and to pray for his recovery. The Golkar party, which Suharto founded and retains the largest bloc in parliament, called for all pending graft charges —pending for a decade now — be dropped. As the ex-strongman lay dying, the health minister instructed all hospitals to provide their best equipment to Pertamina hospital, where Suharto was being treated. But after three weeks, he died of multiple organ failure. He will be buried next to his wife in the central Java city of Solo. It is not clear what will happen to the civil suit brought against him by Indonesia's attorney general for allegedly siphoning off more than $1.4 billion from one of the many foundations set up during his rule.
An era of democracy has now replaced Suharto's despotic rule. And yet, he leaves behind an edifice as sturdy as that millennium-old temple in Prambanan. The way things are done in Indonesia is the system of patronage he set up and it remains firmly in place to this day.
With Howard Chua-Eoan/New York
SOLO, Indonesia (CNN) -- Former Indonesian dictator Suharto, a U.S. Cold War ally whose military regime killed hundreds of thousands of left-wing opponents, was buried Monday at a state funeral with full military honors as tens of thousands mourned. The coffin of Suharto, draped with an Indonesian flag, is carried to an ambulance Throngs of Indonesians lined the streets to watch a motorcade carry his body to the family mausoleum. Many sobbed and called out the name of the man whose three-decade rule, though harsh, brought stability and economic growth to Indonesia.
President Susilo Bambang Yudhoyono led the ceremony, which began just before noon at the mausoleum near Suharto's hometown of Solo, some 250 miles east of the capital. After a reading of Suharto's military accomplishments, a shot was fired in his honor and Yudhoyono offered a salute.
"We offer his body to the motherland," Yudhoyono said. "His service is an example to us."
Islamic prayers were said and as his body was lowered, mourners tossed flower petals into his grave. A military band played a dirge.
Suharto died Sunday of multiple organ failure after more than three weeks on life support at a Jakarta hospital. He was 86.
Yudhoyono had already declared a week of national mourning and called on Indonesians "to pay their last respects to one of Indonesia's best sons."
"He was a great man," said Sumartini, 65, who came from a nearby village with her four children to watch the funeral procession. "His death touched us deeply."
"I cannot understand why I have to forgive Suharto because he never admitted his mistakes," said Putu Oka Sukanta, who spent a decade in prison because of his left-wing sympathies.
Suharto was finally toppled by mass street protests in 1998 at the peak of the 1997-1998 Asian financial crisis.
His departure from office opened the way for democracy in this predominantly Muslim nation of 235 million people, and he withdrew from public life, rarely venturing from his comfortable Jakarta villa.
Suharto ruled with a totalitarian dominance that saw soldiers stationed in every village, instilling a deep fear of authority across this Southeast Asian archipelago that stretches across more than 3,000 miles.
Since being forced from power, Suharto had been in and out of hospitals after strokes caused brain damage and impaired his speech. Poor health -- and continuing corruption, critics charge -- kept him from court after he was chased from office.
The bulk of killings occurred in 1965-1966 when alleged communists were rounded up and slain during his rise to power. Estimates for the death toll range from a government figure of 78,000 to 1 million cited by U.S. historians Barbara Harff and Ted Robert Gurr, who have published books on Indonesia's history.
During Indonesia's 1975-1999 occupation of East Timor, up to 183,000 people died due to killings, disappearances, hunger and illness, according to an East Timorese commission sanctioned by the U.N. Similar abuses left more than 100,000 dead in West Papua, according a local human rights group. Another 15,000 died during a 29-year separatist rebellion in Aceh province.
Suharto's five successors as head of state all vowed to end the graft that took root under his regime, yet it remains endemic at all levels of Indonesian society.
With the court system paralyzed by corruption, the country has not confronted its bloody past. Rather than put on trial those accused of mass murder and multibillion-dollar theft, some members of the political elite consistently called for charges against Suharto to be dropped on humanitarian grounds.
Some noted Suharto also oversaw decades of economic expansion that made Indonesia the envy of the developing world. Today, nearly a quarter of Indonesians live in poverty, and many long for the Suharto era's stability, when fuel and rice were affordable.
But critics say Suharto squandered Indonesia's vast natural resources of oil, timber and gold, siphoning the nation's wealth to benefit his cronies, foreign corporations and family like a mafia don.
Jeffrey Winters, associate professor of political economy at Northwestern University, said the graft effectively robbed "Indonesia of some of the most golden decades, and its best opportunity to move from a poor to a middle class country."
"When Indonesia does finally go back and redo history, (its people) will realize that Suharto is responsible for some of the worst crimes against humanity in the 20th century," Winters said.
Those who profited from Suharto's rule made sure he was never portrayed in a harsh light at home, Winters said, so even though he was an "iron-fisted, brutal, cold-blooded dictator," he was able to stay in his native country.
Like many Indonesians, Suharto used only one name. He was born on June 8, 1921, to a family of rice farmers in the village of Godean in the dominant Indonesian province of Central Java.
When Indonesia gained independence from the Dutch in 1949, Suharto quickly rose through the ranks of the military to become a staff officer.
His career nearly foundered in the late 1950s, when the army's then-commander, Gen. Abdul Haris Nasution, accused him of corruption in awarding army contracts.
Absolute power came in September 1965 when the army's six top generals were murdered under mysterious circumstances, and their bodies dumped in an abandoned well in an apparent coup attempt against Sukarno, Indonesia's founding father who helped win independence from the Dutch. Suharto, next in line for command, quickly asserted authority over the armed forces.
What followed was a nationwide purge of suspected leftists, a campaign that stood as the region's bloodiest event since World War II until the Khmer Rouge established its gruesome regime in Cambodia a decade later.
Over the next year, Suharto eased out Sukarno, who died under house arrest in 1970. The legislature rubber-stamped Suharto's presidency and he was re-elected unopposed six times.
During the Cold War, Suharto was considered a reliable friend of Washington, which did not oppose his violent occupation of Papua in 1969 and the bloody 1974 invasion of East Timor. The latter, a former Portuguese colony, became Asia's youngest country with a U.N.-sponsored plebiscite in 1999.
President Bush sent his regrets over Suharto's death. "President Bush expresses his condolences to the people of Indonesia on the loss of their former president," said Gordon Johndroe, spokesman for the White House's National Security Council.
Even Suharto's critics agree his hard-line policies kept a lid on Indonesia's extremists and held together the ethnically diverse and geographically vast nation. He jailed without trial hundreds of suspected Islamic militants, some of whom later carried out deadly suicide bombings with the al-Qaida-linked terror network Jemaah Islamiyah after the attacks on the U.S. of Sept. 11, 2001.
Meanwhile, the ruling clique that formed around Suharto -- nicknamed the "Berkeley mafia" after the U.S. school they attended, the University of California, Berkeley -- transformed Indonesia's economy and attracted billions of dollars in foreign investment.
By the late 1980s, Suharto was describing himself as Indonesia's "father of development," taking credit for slowly reducing the number of abjectly poor and modernizing parts of the nation.
But the government also became notorious for unfettered nepotism, and Indonesia was regularly ranked as one of the world's most corrupt nations as Suharto's inner circle amassed fabulous wealth. The World Bank estimates 20 percent to 30 percent of Indonesia's development budget was embezzled during his rule.
Even today, Suharto's children and aging associates have considerable sway over the country's business, politics and courts. Efforts to recover the money have been fruitless.
Suharto's youngest son, Hutomo "Tommy" Mandala Putra, was released from prison in 2006 after serving a third of a 15-year sentence for ordering the assassination of a Supreme Court judge. Another son, Bambang Trihatmodjo, joined the Forbes list of wealthiest Indonesians in 2007, with $200 million from his stake in the conglomerate Mediacom.
State prosecutors accused Suharto of embezzling about $600 million via a complex web of foundations under his control, but he never saw the inside of a courtroom. In September 2000, judges ruled he was too ill to stand trial, though many people believed the decision stemmed from the lingering influence of the former dictator and his family.
In 2007, Suharto won a $106 million defamation lawsuit against Time magazine for accusing the family of acquiring $15 billion in stolen state funds.
Suharto's wife of 49 years, Indonesian royal Siti Hartinah, died in 1996. The couple had three sons and three daughters
Emha Ainun Nadjib Akan Bahas Sumpah Soeharto
"Ini mungkin belum banyak yang tahu tentang empat sumpah Soeharto setelah satu tahun lengser dari kursi presiden. Isi sumpah itu hanya Cak Nun yang tahu," kata salah seorang panitia pengajian BangbangWetan, Farid Syamlan, di Surabaya, Selasa.
Hubungan Masyarakat Dewan Kesenian Surabaya (Humas DKS) itu mengemukakan, sebagaimana pengajian-pengajian sebelumnya, Cak Nun sebetulnya lebih banyak menjadi pemandu dengan menghadirkan sejumlah tokoh lain untuk berbicara.
Kali ini, Cak Nun juga akan didampingi oleh Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar (Kapolwiltabes) Surabaya, Komisaris Besar Polisi (Kombespol) Anang Iskandar, Dekan Fakultas Sastra Universitas Airlangga (Unair), Aribowo, yang juga mantan Ketua DKS dan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), serta salah seorang tokoh Republik Mimpi, Sukowidodo.
"Cuma untuk Kapolwiltabes kemungkinan besar hanya akan berbicara mengenai keamanan di Surabaya atau yang sesuai dengan bidang tugas polisi," katanya.
Ia menjelaskan, pengajian yang dimulai Cak Nun sejak setahun lalu itu selalu menanggapi berbagai persoalan terbaru yang dihadapi bangsa ini, termasuk bagaimana umat Islam menghadapi Lebaran, Idul Fitri dan Idul Adha.
Beberapa bulan lalu, kelompok pengajian yang digelar sebulan sekali itu membahas masalah luapan lumpur dari proyek PT Lapindo Brantas Inc, dan terakhir kali lalu mereka mengadakan kegiatan di Sidoarjo untuk menghibur warga korban lumpur.
Pengajian BangbangWetan digagas Cak Nun secara rutin setiap pertengahan bulan Hijriyah di Balai Pemuda Surabaya. Meskipun namanya pengajian, namun yang diundang menjadi pembicara tidak hanya dari kalangan muslim.
Pembiacara non-muslim pernah menjadi pembicara pada pengajian itu, antara lain sosiolog dari Unair, Prof DR Hotman M. Siahaan. (*)
(Foto: Emha Ainun Nadjib)
Gempa Yogya
Gempa 5,2 SR Kejutkan Warga Yogyakarta
Yogyakarta (ANTARA News) - Gempa bumi tektonik berkekuatan 5,2 Skala Richter (SR) yang terjadi Minggu malam pukul 19.48 WIB mengejutkan sebagian warga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya.
Menurut salah seorang staf Stasiun Geofisika Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Yogyakarta, Bambang, pusat gempa di dalam laut pada kedalaman 20 km di posisi 8.75 Lintang Selatan (LS) - 109.05 Bujur Timur (BT), atau sekitar 115 km arah tenggara Kota Wonosari, Kabupaten Gunungkidul,DIY.
Saat terjadi guncangan gempa yang berlangsung beberapa detik, banyak warga Yogyakarta yang berlari ke luar rumah, karena takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Gempa ini juga dirasakan sebagian warga Kabupaten Klaten (Jawa Tengah).(*)
Presiden Minta Rakyat Berterima Kasih pada Soeharto
Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta seluruh bangsa Indonesia agar berjiwa besar dan tulus memberikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi atas darma bakti almarhum Jenderal Purnawirawan HM Mohammad Soeharto kepada bangsa dan negara ini.
"Kita telah kehilangan putra terbaik bangsa, seorang pejuang setia, prajurit sejati dan seorang negarawan terhormat," kata Presiden Yudhoyono, saat memberikan kata sambutan pada upacara kenegaraan pemakaman mantan Presiden Soeharto, di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah, Senin.
"Dengan jujur dan hati yang bersih, kita patut mengakui begitu banyak jasa yang almarhum berikan kepada bangsa dan negara," kata Presiden.
Menurut Kepala Negara, masyarakat juga menyadari bahwa sebagai manusia biasa dan juga layaknya seorang pemimpin, maka almarhum tentulah tidak luput dari kekhilafan dan kekurangan.
"Tidak ada manusia umat hamba Allah yang sempurna di dunia ini. Pada kesempatan yang penting ini, saya juga mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk mendoakan almarhum semoga ditempatkan di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, sesuai dengan perjuangan, pengorbanan dan amal ibadahnya," kata Kepala Negara.
Sepanjang hayatnya, kata Presiden, almarhum Soeharto telah menapaki perjalan panjang di dalam karier militer, politik dan pemerintahan.
Ketika terjadi revolusi fisik tahun 1945-1949, almarhum berjuang gigih mengusir penjajah untuk menegakkan dan mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara yang masih berusia muda.
Sejarah juga mencatat sejumlah perjuangannya yang monumental, yaitu ketika Soeharto bersama pejuang lainnya melakukan Serangan Umum 1 Maret tahun 1949 dan berhasil menduduki Kota Yogyakarta.
"Peristiwa penting itu memberikan bobot dan kekuatan tersendiri pada diplomasi kita yan berujung pada kedaulatan Republik Indonesia," katanya.
Sedangkan pasca revolusi tahun 1962, ketika bangsa Indonesia memperjuangkan pembebasan Irian Barat, almarhum kembali memenuhi panggilan negara untuk memenuhi tugas mulia sebagai Panglima Komando Mandala," kata Presiden.
Pada tahun 1965 ketika bangsa Indonesia kembali diuji oleh peristiwa pemberontakan G-30S/PKI, almarhum kembali tampil mengemban tugas untuk menyelamatkan keutuhan negara, keutuhan bangsa serta melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban.
Presiden Yudhoyono yang saat membacakan pidato mengenakan jas dan berpeci hitam, mengatakan almarhum sejak dilantik sebagai Presiden RI pada 27 Maret 1968, gigih memimpin pembangunan nasional yang tertumpu pada Trilogi Pembangungan, yakni Stabilitas, Pertumbuhan dan Pemerataan.
"Sejumlah prestasi dan keberhasilan telah dicapai pemerintahan yang dipimpin almarhum pada hakekatnya mengantarkan bangsa Indonesia setapak demi setapak menjadi bangsa yang makin maju dan makin sejahtera," katanya. (*)
27 Januari 2008
Innailahi wainnailahi rojiun..
Segenap keluarga Imam baskoro mengucapka bela sungkawa yang sangat mendalam atas telah wafatnya H.M.Soeharto pada tanggal 27-01-2008, semoga Tuhan dapat memaafkan segala kesalahan beliau..
Hidup Demokrasi...
Hidup Ham..
Hidup badan peradilan...
semoga allah swt selalu meridhoi negeri ini...
amin...
26 Januari 2008
Lemahnya lembaga Yudikatif
25 Januari 2008
Rawan Pangan
Hidup penuh dengan Perjuangan
jogja lg pans-panasnya..
Tentang Soeharto kok dia kuat banget ya.....apa karena dia punya jimat..entah jimat apa yang dia punya tapi yang jelas umur brliau panjang sekali..
22 Januari 2008
KELUARGA IMAM BASKORO MULYO
Artist Favorite
Untuk Keluargaku tercinta
I love u Father & mother...