Pengembara Kesepian Itu Pergi Selamanya
Oleh Asro Kamal Rokan
Jakarta (ANTARA News) - Jenderal Besar itu telah tiada, Ahad (27/01). Pak Harto -- putra petani dan anak desa – itu wafat di tengah kontroversi status hukumnya yang tak pasti. Sejarah Indonesia menempatkan Soeharto dalam dua sisi: dipuji dan dicerca.
Pada satu sisi, Pak Harto dinilai sebagai tokoh yang sangat berjasa membangun Indonesia, mengangkat Indonesia dari keterpurukan sangat parah pasca kepemimpinan Soekarno. Pak Harto tidak saja mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa, tapi juga menyebarkan pengaruhnya yang kuat di negara-negara Asia Tenggara. Beliau tokoh utama di kawasan ini, yang tidak tergantikan hingga saat ini.
Pak Harto -- yang berkuasa selama 32 tahun, sejak Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 dan jatuh secara tragis dalam gelombang reformasi 1998 – dikenal pula dekat dengan petani. Sebagai anak petani, Pak Harto fasih bahasa dan keinginan petani. Berkat usaha keras dan program yang terarah, pada 1984 Indonesia berhasil swasembada beras dengan produksi 25,8 juta ton dari 12,2 juta ton pada awal kekuasaannya. Food and Agriculture Organization (FAO – badan PBB) memberikan penghargaan medali emas untuk Pak Harto pada November 1995.
Dua tahun setelah reformasi, ketika kekuatan pembaharu mulai kesulitan untuk menjaga dan membangun stabilitas keamanan, politik, dan ekonomi, nama Pak Harto kembali dikenang. Kalangan masyarakat umum mulai membanding-bandingkan keberhasilan Pak Harto dengan pemerintahan reformasi. Ketika harga-harga kebutuhan pokok meningkat, rasa aman berkurang, politisi lebih suka bertengkar, maka kerinduan masyarakat umum terhadap masa lalu, masa Orde Baru, semakin kuat. Masa Orde Baru itu dinilai sebagai masa normal.
Sisi-sisi baik ini, di antara banyak sisi positif lain, masyarakat umum mengenang Pak Harto sebagai pahlawan. Ini pulalah, dapat diduga, mendorong masyarakat menghormatinya, menangis saat peti jenazah diusung. Di sepanjang jalan yang dilewati jenazah di Jakarta, orang-orang berduyun dan menundukkan kepala.
Jakarta seperti berhenti berdenyut. Di berbagai masjid, jemaah melakukan shalat gaib. Di Solo, dari Bandara Adi Sumarmo hingga Astana Giribangun – tempat pemakamannya -- rakyat berduyun-duyun mengiringinya ke tempat terakhir. Bagi mereka, Pak Harto adalah kebanggaan.
Tapi tidak bagi sebagian politisi, aktivis hak asasi manusia, dan aktivis antikorupsi. Pak Harto dinilai sebagai penyebab kerusakan bangsa ini. Kalangan politisi menilai Orde Baru merupakan rezim otoritarian dan antidemokrasi. Selama berkuasa, Pak Harto dianggap menggunakan kekuatan militer dan konstitusi untuk kepentingan kekuasaannya.
Ia membungkam pers, kebebasan berserikat, dan kebebasan berpendapat. Pada sekitar 20 tahun masa kekuasaannya, Pak Harto juga dinilai menindas dan mengkhianati kelompok politik Islam, yang sejak awal mendukungya ketika menumpas komunis. Tokoh-tokoh Islam diawasi, dilarang berpolitik, dan bahkan dipenjara tanpa pengadilan. Bahkan, ada kesan kekuatan Islam dianggap sebagai ancaman terhadap pembangunan.
Namun, pada sepuluh tahun terakhir Pak Harto seakan memberi ruang bagi kekuatan Islam masuk dalam kekuasaan. Pak Harto mendirikan Amal Bakti Muslim Pancasila, yang mendirikan masjid-masjid. Ia juga merestui pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI) yang dipimpin BJ Habibie, tokoh yang sangat dekat dengannya.
Bank Islam yang sebelumnya dilarang, diperbolehkan didirikan. Berdirilah Bank Muamalat yang diprakarsai ICMI. Aktivis Islam, terutama HMI dan ICMI, diberi pula peluang untuk berperan di Golkar, yang menjadi kendaraan Pak Harto. Kesan demikian juga terlihat di ABRI. Jenderal-jenderal santri mulai menapaki posisi-posisi stretegis.
Kedekatan Pak Harto dengan kelompok Islam ini – yang kemudian disebut "Ijo Royo-royo" -- telah pula dicurigai berbagai kalangan merupakan strategi Pak Harto mencari sandaran baru untuk mempertahankan kekuasaannya, setelah pengaruhnya di ABRI mulai meredup. Ini memang dapat diperdebatkan. Sebab, bisa pula ini bukan strategi politik kekuasaan, melainkan kasadaran atas kekeliruan sebelumnya di negara yang mayoritas Islam. Di kalangan politisi dan aktivis Islam, bahkan muncul kesimpulan bahwa jatuhnya Pak Harto antara lain karena kedekatannya dengan kelompok Islam. Ini pun dapat pula diperdebatkan.
Di kalangan penggiat hak asasi manusia, Pak Harto dianggap bertanggung jawab atas berbagai tragedi kemanusiaan, di antaranya kasus 1965, Tanjungpriok, Talangsari, Komando Jihad, Aceh, pembungkaman terhadap pers, kerusuhan Mei, dan beberapa lainnya. Rezim Orde Baru dinilai lebih suka melakukan politik kekerasan.
Sisi lain, Orde Baru dianggap sebagai rezim korup. Kolusi, korupsi, dan nepotisme berkembang pesat. Utang-utang pemerintah yang semestinya diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, dikorupsi kroni-kroni Pak Harto. Ekonom terkemuka Prof Sumitro Djojohadikesumo bahkan menyebutkan 30 persen dana APBN menguap setiap tahun. Selain KKN, kebijakan ekonomi Orde Baru juga dianggap tidak prorakyat. Kebijakan ‘’efek menetes ke bawah’’ untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, justru membesarkan konglomerat para kroninya daripada pemerataan.
Pengembara
Pak Harto wafat setelah dirawat 24 hari di RS Pusat Pertamina. Pak Harto pergi untuk selamanya meninggalkan orang-orang yang dicintainya, bangsa yang dicintainya, dan berbagai kasus yang belum selesai.
Selama berkuasa, Pak Harto yang wafat dalam usia 86 tahun, telah berupaya keras membangun bangsa ini. Sebagai manusia, seperti juga para pengeritiknya, Pak Harto tentu tidak sempurna: Ada sisi baik dan ada pula sisi sebaliknya. Orang-orang bijak akan menjadikan kedua sisi itu – baik dan buruk – sebagai pelajaran berharga untuk berbuat lebih baik. Orang-orang bijak lebih suka membuka luas hatinya untuk memaafkan dan melihat sisi-sisi kebaikan.
Pak Harto telah pergi selamanya. Dalam buku Suharto, a Political Biography, Prof. Robert Edward Elson menulis, masa kecil Pak Harto menderita. Dalam usia sepuluh tahun, enam kali Pak Harto berpindah-pindah rumah dan berpindah-pindah pengasuh. Ia menumpang dari satu rumah ke rumah lainnya. ‘’Dalam kesepiannya mengembara dari rumah ke rumah, dia merasa seperti tidak pernah diterima dengan sungguh-sungguh,’’ tulis Edward Elson.
Setelah turun dari kekuasaan, Pak Harto juga seperti pengembara. Ketika wafat, status hukumnya tidak jelas, terombang-ambing. Pengadilan tidak memutuskan apa-apa. Tidak dinyatakan benar, tidak juga dinyatakan bersalah dan dimaafkan. Pak Harto juga seperti tidak diterima secara sungguh-sungguh – dipuji para pendukungnya, namun dicerca para pengeritiknya.
Senin (28/01) ketika jasad Pak Harto dikebumikan di Astana Giri, air mata berderai jatuh dari keluarga, pelayat, dan orang-orang yang mencintainya. Sebagai pengembara, Pak Harto telah pulang ke tempat yang pasti, tidak lagi mengembara: Inna Lillahi wainna Illaihi Roji’un.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar