10 Februari 2008

Kasus Aliran Dana BI

Kasus Aliran Dana BI

Mengkaji Motif Dan Proses Aliran Dana
Derasnya aliran dana BI, mengalir tidak hanya berujung pada proses hukum melainkan juga politik. Namun itu semua
bergantung pada hukum sebagai panglimanya. Sejauh ini motif dan proses aliran dana masih abu-abu. Alih-alih
meluruskan proses hukum, kini kasusnya lebih berat ke kasus politik.
Laiknya pusaran air sungai yang terjal, aliran dana Bank Indonesia (BI) mengalir begitu deras. Jika pula dianalogikan
dengan aliran sungai yang mengalir tunggal, aliran dana BI kali ini tidak bersifat demikian. Sebab, ia mengalir tidak
hanya melewati satu ruas, melainkan beberapa ruas (baca: pihak).

Derasnya aliran itu pun, dikarenakan pada bobot dari aliran tersebut yang jumlahnya mencapai Rp. 100 milyar.
Sungguh angka yang fantastis.Nampaknya, tidak hanya besaran angkanya saja yang membuat itu begitu fantastis,
melainkan arah aliran itu pula yang ikut mendongkrak.


Lihat saja, aliran dana BI itu terserap tidak hanya ke ruang DPR di Komisi Keuangan dan Perbankan periode 1999-
2004, tapi juga ditengarai diserap oleh kejaksaan, para pengacara dan ada juga wakil gubernur di sebuah daerah di
Sumatera.


Yang terakhir sebelumnya pernah duduk di DPR (1999-2004) di Komisi Keuangan dan Perbankan. Itulah mengapa,
kemudian dalam pemeriksaannya KPK memosisikan kasus ini dalam tiga bagian. Pertama, penyalahgunaan dana oleh
Direksi BI, kedua penerimaan oleh para anggota legislatif, dan ketiga kemungkinan penerimaan dana oleh penegak
hukum. Nah, mengacu pada pembagian pertama, ternyata sekitar 68,5 juta diperuntukkan bagi para mantan pejabat BI
yang ketika itu tengah dililit masalah hukum seputar Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Sebenarnya, penyiapan dana tersebut tidak lah bermasalah sedikitpun. Toh, itu juga merupakan perhargaan atas
dedikasinya selama ini. Semacam reward-lah. Dapat dibenarkan pula, penyiapan dana tersebut karena ingin menjaga
citra selaku Bank Sentral sebuah negara, baik itu dimata publik nasional maupun Internasional. Terlebih, setelah dunia
perbankan sempat terpukul begitu hebatnya pada 1997 tatkala krisis ekonomi (moneter) melanda.Namun, belakangan
dana tersebut menguak menjadi sebuah polemik di mata hukum. Adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang
menghangatkan itu.

Bermula dari laporan keuangan (LK) BI pada 2004. Dimana pada laporan tersebut, BPK menenggarai adanya
pengeluaran yang tidak wajar berlangsung di bank sentral tersebut. Ternyata, BPK tidak memberikan tanggapan seperti
laiknya lembaga ini memeriksa semua departemen dan lembaga keuangan negara. Melihat kondisi tersebut, Anwar
Nasution, langsung menyambangi bekas kantornya dulu untuk mengatakan kepada bekas rekan-rekannya agar
sesegera mungkin memperbaiki LK BI tersebut.

Alasannya, agar dapat diselesaikan secara kekeluargaan.Sedikit sapaan dari mantan deputi senior BI itu, ternyata
kurang mendapat perhatian dari para dewan gubernur. Atas dasar itu kemudian, Anwar melayangkan surat kepada
pimpinan KPK guna melakukan pemeriksaan lebih lanjut atas temuan BPK tersebut. Hingga saat ini sudah ada
beberapa pihak yang dimintakan keterangan, beberapa diantaranya Kepala BPK sendiri, Anwar Nasution, Miranda S.
Goeltom dan Bun Bunan E. J. Hutapea.Lantas, waktu pun dirunut dengan mengacu pada Rapat Dewan Gubernur yang
merupakan forum tertinggi dalam menghasilkan serangkan kebijakan strategis BI.

Pada 17 Maret 2003, untuk kali pertama, datang sepucuk surat berupa permohonan dana operasional dan konsultasi
hukum terhadap tiga mantan anggota direksi BI yang tersangkut kasus penyaluran dana BLBI. Ketiga mantan direksi itu
adalah Hendro Budiyanto, Heru Soepraptomo, dan Paul Sutopo. Dalam suratnya itu, ketiganya meminta bantuan
penggantian dana mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan, kepolisian dan
pengadilan, yang telah dijalaninya semenjak 1997.


Adapun besaran jumlahnya kisaran Rp 5 milyar untuk masing-masing, sehingga totalnya berjumlah Rp 15 milyar.Dalam
Majalah Konstan Online
http://www.majalahkonstan.com _PDF_POWERED _PDF_GENERATED 10 February, 2008, 14:35
Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang dilangsungkan pada 20 Maret 2003 yang dipimpin langsung Gubernur BI, Syahril
Sabirin itu, menyepakati permintaan ketiga mantan direksi tersebut. Dasar pertimbangannya adalah ketiganya dalam
pelaksanaannya, penyaluran dan BLBI, dala rangka menjalankan tugas kedinasan BI, yaitu mengatasi krisis moneter
dan menyelematkan sistem perbankan yang luluh lantah pada 1997.

Selain itu, dalam RDG tersebut juga memutuskan bahwa ketiganya tidak perlu mempertanggungjawabkannya ke BI cq
Direktorat Hukum, dengan alasan bantuan dana yang dikeluarkan merupakan kompensasi atas pengeluaran yang telah
dilakukan ketiganya. Waktu pun berganti seiring dengan pergantian gubernur BI. Burhanuddin Abdullah menduduki
posisi di bank sentral tersebut pada Mei 2003. Tatkala menjabat sebagai Gubernur BI, Burhanuddin melakukan RDG
untuk kali pertama dalam konteks yang sama pada 3 Juni 2003.



Dalam rapat tersebut membahas serangkaian penanggulangan kebutuhan dana yang sifatnya insidental dan mendesak
di BI, dengan menggunakan dana yang diperoleh dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), yang
belakangan menjadi YPPI (Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia).Pada perkembanganya, terlihat bahwa dua
Deputi Gubernur BI, Aulia Pohan dan Bun Bunan Hutapea, diminta mengatur teknis pelaksanannya dengan pengurus
LPPI. Mengacu pada RDG 3 Juni itu, dilakukan catatan yang dikeluarkan Biro Gubernur Rusli Simandjuntak, 27 Juni
2003.

Ditegaskan pula bahwa dalam RDG tersebut, menyetujui penggunaan dana tahap pertama sebesar Rp 50 Milyar.
Adapun mengenai penyediaan dananya ditunjuklah Rusli Simandjuntak dan Oey Hoey Tiong.Pada 20 Juli 2003, RDG
kembali digelar yang dipimpin langsung Burhanuddin Abdullah. Dalam rapat tersebut, ditetapkan perluasan pengeluaran
dana yang sebelumnya Rp 15 Milyar menjadi Rp 100 Milyar.

Dengan dana yang besar tersebut, pemberian bantuan pun meluas dengan tidak hanya tiga mantan direksi BI,
melainkan pejabat lainnya seperti Sudrajat Djiwandono dan Deputi Gubernur BI Iwan Prawiranata.Terungkap pula, dua
Deputi Gubernur BI, Aulia Pohan dan Bun Bunan Hutapea, diminta membicarakan pelaksanaannya dengan pengurus
LPPI. Berdasarkan RDG 3 Juni itu, dibuat catatan yang dikeluarkan Biro Gubernur Rusli Simandjuntak, 27 Juni 2003.
Disebutkan, RDG juga menyetujui penggunaan dana tahap pertama Rp 50 miliar serta menunjuk Rusli Simandjuntak
dan Oey Hoey Tiong dalam penyediaan dana tersebut. Pada 22 Juli 2003, RDG yang dipimpin langsung Burhanuddin
memperkuat keputusan RDG sebelumnya yakni 3 Juni 2003.

Rapat yang dihadiri Anwar Nasution, Deputi Senior BI, belakangan ternyata ada dua versi. Pada versi pertama, yang
menjadi lampiran surat Anwar ke KPK, Deputi Gubernur Aslim Tadjudin tidak ikut menandatangani dalam RDG tersebut.
Adapaun mengenai isinya sebatas mempertegas penyisihan dana YPPI. Sedangkan versi yang kedua, Aslim Tadjudin
secara nyata ikut menandatangani hasil RDG tersebut. Tidak hanya sampai disitu, Anwar Nasution juga terlihat
membubuhkan tanda tangan.

Itu artinya, ia juga ikut memutuskan cairnya dana YPPI tersebut. Selain itu, RDG juga memutuskan untuk
merealisasikan pemenuhan penyisihan dana tersebut yaitu tersebut sebesar Rp 71.500.000.000 (Rp 100 milyar
dikurangi jumlah yang telah disetujui oleh Dewan LPPI untuk ditarik sebesar Rp. 28.500.000.000). atas dasar itu
kemudian dibentuk Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PSK), yang fungsinya melakukan penarikan,
penggunaan dan penatausahaan dana dimaksud.Dengan adanya pembentukan panitia tersebut, ditentukanlah
koordinator dimana yang menjabat adalah Aulia Pohan dan Maman S. Suamntri. Sedangkan ketua dan wakil ketua Rusli
Simanjutak dan Oey Hoey Tiong. Mereka semua berposisi sebagai ex-officio. Sementara untuk administratornya, para
mereka yang minimal penjabat GV yang ditunjuk dan ditetapkan panitia PSK.


Kecenderungan Politik
Derasnya upaya hukum yang dijalankan, ternyata juga menyisipkan akan derasnya kecenderungan politik yang
menyelimuti pelaporan tersebut kepada KPK. Seperti yang diketahui bahwa Anwar juga berperan serta dalam
mengucurkan dana tersebut. Sehingga, menjadi aneh jika kemudian ketika dia tidak lagi menjabat sebagai Deputi Senior
Gubernur BI dengan sekarang menjabat Ketua BPK mempersoalkan keputusan aliran dana tersebut.
Kalaupun dia menyatakan ketidaksetujuannya pada kebijakan tersebut, yang olehnya tidak harus diambil dari dana
yayasan melainkan dana yang dimiliki BI cukup banyak alias tidak terbatas, seharusnya diperlihatkan sedari awal
kebijakan itu keluar atawa paling tidak ketika proses itu tengah di godok di RDG. Di lain pihak, pelaporan yang dilakukan
Majalah Konstan Online
http://www.majalahkonstan.com _PDF_POWERED _PDF_GENERATED 10 February, 2008, 14:35
Anwar KPK belakangan dinilai kadaluwarsa. Sebab, sedianya sebelum pelaoran itu dipublikasi ke publik, sudah menjadi
agenda utama bahwa pelaporan itu disuguhkan kepada anggota dewan.
Alih-alih, kesalahan prosedural pun dialamatkan kepada BPK. Terkait hal tersebut, pihak BPK mempunyai jawaban
sendiri, dimana pada laporan yang mengacu pada LK BI 2004 tersebut, terdapat unsur spesifik. Dengan pengertian
bahwa terdapatnya tindak penyelewengan. Karena, ini berkenaan dengan satu dugaan adanya tindak penyelewengan,
sehingga itu tidak publikasikan ke DPR melainkan ke penegak hukum.
Dan itu, tambahnya, diatur dengan jelas dalam UU BPK. Kalaupun itu dipublikasikan ke DPR dan kemudian ternyata
tidak terbukti adanya tindak pidana, BPK bisa dituntut oleh BI. Belakangan juga mencuat sebuah isu dimana pelaporan
Anwar tersebut, terkait pada bursa pencalonan Gubernur BI yang akan berlangsung pada 2008. Untuk yang satu ini
secara tegas Anwar menolaknya. Katakanlah, kita mengiyakan ucapan Anwar itu. Namun, jika memilisik lebih jauh akan
jelujur atau sejarah dari lahirnya seorang Gubernur BI selain melalui proses politik di DPR, juga menuntut akan lamanya
seseorang dalam kiprahnya di bank sentral. Sehingga, jika mengacu pada alur tersebut yang lebih senior diantara deputi
gubernur senior yang ada di BI sekarang ini adalah Anwar.
Kalaupun alur itu ditempatkan pada Miranda bisa mungkin, bisa tidak. Apalagi, melihat sepak terjang Anwar di BPK
yang kelihatan berkilau dengan kinerja dan dedikasinya. Tapi, kembali lagi, itu semua berpulang pada proses politik di
DPR. Sementara itu, pada kesempatan lain, jika memang Anwar ingin benar-benar mengakan hukum kepada mantan
rekan-rekannya itu, tidak menutup kemungkinan akan melibatkan semua deputi gubernur termasuk senior di BI.
Karena, dalam setiap kebijakannya BI kerap mengandung keputusan kolektif ketimbang individu. Sekarang tinggal kita
menyaksikan ke arah mana aliran dana tersebut menggodam para pembuat keputusan yang sifatnya kolektif beserta
dengan pengaitannya ataukah memang terpusat pada satu titik: personal. Tim Konstan
Majalah Konstan Online
http://www.majalahkonstan.com _PDF_POWERED _PDF_GENERATED 10 February, 2008, 14:35
ttp://www.google.com/search?q=cache:B9L6qkqHxrUJ:www.majalahkonstan.com/index2.php%3Foption%3Dcom_content%26do_pdf%3D1%26id%3D936+Aulia+pohan,+bermasalah&hl=id&ct=clnk&cd=12&gl=id&client=firefox-a

Artist Favorite

Artist Favorite

Untuk Keluargaku tercinta

Selamat menjalani hidup dengan pnuh semangat.. semoga hari esok lebih baik dari hari ini.. selamat jalani hidup dengan penuh semangat, raihlah sukses..kerena kita ditakdirkan untuk sukses, raihlah surga..karena kita semua akan berkumpul disana kelak...
I love u Father & mother...

Bromo Mountain pic

Bromo Mountain pic
The famous montain in Indonesia